Karyatulisnya pun terbatas. berikut ini merupakan judul karya-karya Lafran Pane dengan bentuk artikel bebasnya: Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Kedudukan Dekret Presiden Kedudukan Presiden Kedudukan Luar Biasa Presiden Kedudukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) Tujuan Negara Tokohpendiri HMI Lafran Pane ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden. Lafran juga salah satu tokoh yang menculik Bung Karno ke Rengasdengklok. Tahun 1947, dia mendirikan HMI," kata Lo7B. Ilustrasi Sumber Iklan terakota Oleh In’amul Mushoffa* masuk HMI, saya diyakinkan bahwa inilah organisasi mahasiswa Islam elit. Selain paling tua, alumni-alumninya tersebar di struktur pemerintahan. Banyak diantara mereka sukses menjadi politisi. Dengan menjadi anggota HMI, artinya sama dengan investasi kesuksesan’ di masa depan. Saya yang datang dengan pikiran kosong akhirnya terpincut. Mungkin juga karena komunikasi orang-orangnya memang mirip pejabat dan politisi. Dugaan saya, kira-kira begitulah karakter yang juga dicerminkan pendirinya. Saat itu, sosok Lafran Pane tak banyak diulas dalam diskusi dan literatur tentang sejarah HMI. Kalaupun ada, itu pun sebatas siapa dan dari mana ia berasal, dan bagaimana usahanya dalam mendirikan HMI. Informasi mengenai karakter dan sepak terjang Lafran pasca mendirikan HMI saat itu masih sulit dicari. Maka, begitu Hariqo Wibawa Satria meluncurkan buku biografi Lafran Pane pada tahun 2010, saya buru-buru ingin membacanya. Begitu menyelaminya, terus terang saya tercengang. Semacam ada kontras yang begitu tajam, antara yang saya baca dari sosok Lafran dan antara orang-orang di HMI. Kisah-kisah di bawah ini setidaknya mewakili karakter Lafran Pane. Sumbernya digali dari buku “Lafran Pane Jejak Hayat dan Pemikirannya” Hariqa Wibawa Satria 2010 serta sumber lain, dan dikonstruksi sesuai maksud ditulisnya artikel ini. *** Kisah dimulai sejak Lafran mendirikan HMI pada 1947. Lafran mendesain agar HMI tetap independen. Garis ini diambil agar HMI tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh kepentingan politik, baik oleh pihak di dalam HMI sendiri maupun pihak luar. Lantaran itu, Lafran tak pernah bersedia menjadi anggota parpol. Ketika Golkar dan PPP menawarinya menjadi pimpinan partai, Lafran menolaknya mentah-mentah. Penolakan ini juga terjadi ketika ia ditawari menduduki posisi strategis pemerintahan. Prinsip untuk menjaga independensi HMI itu juga ia tunjukkan selama rezim Orde Baru. Suatu ketika, Presiden Soeharto—atas masukan Akbar Tandjung—meminta Lafran menjadi salah satu jajaran Dewan Pertimbangan Agung DPA. Tapi, permintaan itu bukan tanpa syarat. Lafran bisa diangkat jika berstatus sebagai perwakilan dari Partai Golkar. Tentu saja, Lafran menolaknya. Ketika disodori formulir yang di dalamnya terdapat kolom keterangan sebagai anggota Partai Golkar, ia mengosongkan kolom itu dengan konsekuensi tidak jadi diangkat. Bagi Lafran, dari pada berstatus sebagai anggota parpol, mending tak usah menjadi DPA. Meski utusan Soeharto berusaha merayunya berkali-kali, sikap Lafran tetap kukuh. Soeharto yang mendengar sikap Lafran akhirnya melunak. Lafran akhirnya diangkat menjadi satu-satunya anggota DPA yang tidak berasal dari perwakilan parpol. Kelak, papan nama di ruang kerja Lafran tidak bertuliskan perwakilan dari parpol tertentu, seperti anggota DPA lainnya, tetapi bertuliskan Lafran Pane—Alumni HMI. Lafran juga figur yang sederhana. Beberapa saat sebelum ia dilantik menjadi anggota DPA, ia yang sudah sampai di Jakarta didatangi orang DPA untuk diukur dan dibuatkan jas pelantikan. Lafran tak bersedia. “Masak orang belum bekerja dibikinkan jas”, ujarnya kepada Senoaji, teman sekaligus orang yang sering membantunya. “Kenapa Pak? Itukan fasilitas”. “Ah, tak pantas itu. Sudahlah, aku minta tolong kau ke Yogja, ambilin jas aku”. Senoaji pun mengiyakan permintaan Lafran, tetapi dicegah oleh alumni HMI. Malam harinya, alumni-alumni HMI perlu meyakinkan Lafran dalam sebuah pertemuan. Lafran akhirnya bersedia meminjam’ jas DPA, bukan menerimanya. Saat menjadi anggota DPA, kesederhanaan Lafran tidak berubah. Suatu ketika, ia menceritakan bahwa honorarium yang ia terima sebagai anggota DPA terlalu tinggi. “Buat apa uang sebesar itu?”. Konon, seorang ibu dari KAHMI Korps Alumni HMI yang berdiri di sekitar Lafran kemudian berbisik ke temannya, “kasihkan gue biar habis di Pasar Baru”. Kisah ini terekam dalam sebuah acara syukuran di rumah Akbar Tandjung. Kehidupan Lafran sejak kecil memang keras. Ia terbiasa hidup mandiri dengan berjualan es sampai kartu bioskop. Inilah yang barangkali mengakar sampai masa tuanya. Lafran menjadi pribadi yang risih menerima pemberian orang, apalagi pemberian dari Negara yang dulu ia ikut perjuangkan kemerdekannya. Ketika Lafran mengajar di IKIP Yogjakarta, saat alumni-alumni HMI sudah pada naik mobil, Lafran sehari-hari masih ngontel. Rumah pun tidak punya. Masih ngontrak. Alumni HMI di Jakarta yang sudah mapan dan prihatin ingin membelikannya rumah dan mobil. Namun, Lafran menolak keras. Beberapa kali, Iqbal Pane—anak Lafran mengajukan beasiswa ketika kuliah untuk meringankan beban orangtunya, tapi Lafran justru marah dan melarangnya. Menurutnya, masih banyak orang yang lebih pantas mendapatnya. Tidak mudah memberikan bantuan kepada Lafran, bahkan bantuan dalam ukuran normal sekalipun. Tahun 1974, mahasiswa di IKIP Yogjakarta—tempat Lafran mengajar—menuntut rektornya mengundurkan diri. Kebetulan, sebagian besar dari mereka adalah anggota HMI. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu menuduh Lafran—yang sama sekali tak ikut campur—sebagai dalang dari aksi tersebut. Lafran lalu dinonaktifkan dari segala tugas di fakultasnya, dipindahkan ke UII Yogjakarta, serta diberi gaji-pensiun dan tunjangan guru besar. Tak terima, dosen-dosen HMI berencana mengundurkan diri sebagai bentuk dukungan kepada Lafran. Lafran juga ditawari menjadi rektor sebuah IKIP di Luar Jawa. Namun, Lafran lagi-lagi menolaknya. Tekanan kepada Lafran semakin keras ketika Rektor IKIP Yogjakarta sudah diganti. Lafran dituntut untuk mengembalikan tunjangan jabatan yang diterimanya selama non-aktif. Lukman Hakiem, yang saat itu menjadi Ketua Korkom HMI IKIP Yogjakarta, dan kawan-kawannya ikut tersulut emosinya. Mereka buru-buru mendatangi Lafran di kediamannya dan menawarakan protes atas ketidakadilan itu. Namun, Lafran justru mencegahnya, “Untuk apa?”. Ia bahkan berkilah bahwa hidupnya saat itu sudah bahagia. *** Lafran juga tak begitu suka mengakui jasa-jasanya. Pasca kejadian G30S 1965, Lafran berkunjung ke Kongres HMI ke-8 tahun 1966 di Solo. Sesampai di arena kongres, penjagaan sangat ketat. Siapapun yang memasuki arena Kongres harus menggunakan tanda pengenal atau surat keterangan sebagai delegasi. Di pintu penjagaan, panitia kongres yang bertugas sama sekali tidak ada yang mengenalinya—meski sudah sering mendengar namanya. Kebetulan, Lafran tak membawa tanda pengenal dan tentu saja sebagai alunmni tak memiliki keterangan sebagai peserta. Lafran pun ditahan di pintu masuk. Rombongan Pengurus Besar HMI yang kebetulan datang melihat kejadian ini. Dengan penuh haru bercampur geli, mereka pun memberitahu ke panitia bahwa yang mereka tahan adalah Lafran Pane, pemarakarsa pendiri HMI. Ketika penjaga pintu mempersilahkan Lafran Pane masuk, sikap Lafran biasa saja, seolah memaklumi. Pada tahun 1974, Lafran mendatangi Konfercab HMI Cabang Yogyakarta dan, lagi-lagi, para peserta tidak ada yang mengenali pendirinya yang delapan tahun sebelumnya 1966 sudah dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Tata Negara di Fakultas Keguruan Ilmu Sosial IKIP Yogjakarta ini. Sosok yang duduk di belakang peserta itu pun dicueki kader-kader organisasi yang dahulu ia dirikan itu. Lafran seolah menikmati keadaan ini. Usut punya usut, sebagian besar peserta Konfercab bahkan mengiranya sebagai intel. Ketika salah satu Ketum Komsariat HMI yang kenal Lafran lantas memberitahu kepada teman-temannya bahwa inilah “Lafran Pane—pendiri HMI”, sikap Lafran tetap dingin. Seolah tidak ada yang aneh. Selama hidupnya, Lafran konsekuen tak mau ditinjol-tonjolkan. Ketika Lukman Hakiem Syaifuddin menawarkan untuk menuliskan birografinya, Lafran tak bersedia. Lafran juga tak bersedia ketika diminta menuliskan sejarah HMI. Menurutnya, hasilnya akan subjektif. Lafran bahkan tak mau didaku sebagai pendiri HMI, meski telah didesak berkali-kali. Paling banter, ia hanya mau disebut sebagai pemerakarsa berdirinya HMI. Kesediaan Lafran ini kemudian ditetapkan melalui Kongres HMI yang ke XI di Bogor 1974. Lafran memang menghindari segala upaya personifikasi HMI terhadap dirinya. Sampai-sampai, tanggal lahirnya yang sesungguhnya bertepatan dengan berdirinya HMI 5 Februari Lafran ubah menjadi 12 April 1923. *** Lafran Pane Pahlawan Nasional Dok. IDN Times Lafran muda mengalami pergolakan pemikiranDikenal sebagai bocah badungHingga akhirnya dia memprakarsai HMIOrganisasi kader yang banyak melahirkan tokohBanyak yang baik, tak sedikit pula yang nakal...***Hari ini 5 Februari 2022 HMI memasuki usia Ke-76 tahun. Perjalanan hijau hitam tak bisa dilepaskan dari sosoknya. Ya, Lafran Pane. 'Berdosalah' kader Himpunan Mahasiswa Islam HMI yang tidak mengenal sosoknya. Pendiri organisasi dengan warna khas hijau hitam dengan intelektualitas yang mumpuni. Namun tidak ujug-ujug Lafran bisa sukses seperti saat mendirikan HMI. Lafran muda harus bergejolak dengan pemikirannya. Jalan hidupnya tak seperti anak muda masa kini. Yang mungkin saja menghabiskan waktu untuk disia-siakan .Lewat perjuangan panjang, Lafran akhirnya ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 6 November 2017. Bersama TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dari Nusa Tenggara Barat NTB, Laksamana Malahayati dari Provinsi Aceh, Sultan Mahmud Riayat Syah dari Kepulauan Riau, dan Lafran Pane dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Penganugerahan itu digelar di Istana Presiden lima hari lahir di Padangsidimpuan 5 Februari 1922. Tanggal ini bertepatan juga saat dia mendirikan HMI dua tahun setelah Indonesia merdeka. Lafran adalah anak kandung dari seorang penulis, sekaligus tokoh Muhammadiyah Sutan Pangaruban Pane. Ibunya bernama Gonto boru Siregar. A Fuadi dalam buku Merdeka Sejak Hati, 2019.Yuk Simak kisah perjalanan Lafran Pane mendirikan HMI hingga dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional. Baca Juga Mengenal SMA Unggul Del, SMA Terbaik di Sumut Binaan Luhut Panjaitan 1. Lafran kecil sudah dikenal nakal sekaligus cerdasLafran Pane Pahlawan Nasional Dok. IDN TimesLafran tidak begitu mengenal sosok ibunya. Di umurnya yang masih dua tahun, sang ibu wafat. Lafran merupakan bungsu enam bersaudara. Beberapa kakaknya juga menjadi sastrawan kondang. Mereka adalah Sanusi Pane dan Armijn Pane. Karya-karyanya cukup dikenal di publik. Bahkan sampai saat ini masih dari Lafran dikenal sudah nakal sejak kecil. Lantaran tidak ada dampingan ibu sejak dia kecil. Meskipun beberapa kesaksian menyebut jika Lafran kecil adalah seorang penurut dan juga dibesarkan di keluarga yang taat agama. Nilai ini juga yang terus dipegangnya, meskipun pikirannya terus Lafran muda kerap pindah sekolahLafran Pane Pahlawan Nasional Dok. IDN TimesDalam berbagai artikel selalu diceritakan jika perjalanan pendidikannya tidak pernah mulus. Dia kerap pindah sekolah. Lafran sempat mengenyam pendidikan di pesantren Muhammadiyah Sipirok. Kemudian dia melanjutkan sekolah formal di desa selama tiga tahun. Lagi-lagi dia tak meluluskan pun hijrah ke Sibolga. Di sana dia berhasil tamat dari HIS Muhammadiyah. Lalu dia kembali ke Sipirok. Di sana dia melanjutkan sekolah ibtidaiyah yang bersambung ke wustha atau tingkat menengah. Namun dia kembali pindah ke Taman Siswa Sipirok. Kemudian pindah lagi ke Taman Antara dan Taman Dewasa di nasib mujur tidak berpihak kepadanya. Dia dikeluarkan dari sekolah sebelum lulus. Dari titik ini membuat Lafran menjadi seorang Kebadungan Lafran dimulai dari Medan dan berlanjut ke JakartaLafran Pane Pahlawan Nasional Dok. IDN TimesPutus sekolah membuat Lafran semakin bergejolak. Dia meninggalkan rumah kakaknya Nyonya dr Tarib di Medan dan memilih hidup di jalanan. Emperan toko kawasan Kesawan pernah menjadi tempatnya Lafran disebut kerap main kartu untuk menghidupi dirinya. Lafran juga dikabarkan pernah berlatih nasib adiknya, pada 1937 Lafran diminta Sanusu dan Armijn pindah ke Batavia Jakarta. Dia pun kembali melanjutkan sekolahnya di HIS Muhammadiyah. Lagi-lagi dia harus pindah beberapa kali hingga ke Taman Dewasa Raya Lafran sebagai seorang remaja berlanjut di Jakarta. Dia disebut pernah bergabung dengan geng pemuda. Kenakalannya membuat Lafran sering dibui. Bahkan pada satu kasus, gurunya di Muhammadiyah Mr Wilopo sempat membayarkan denda atas saat itu juga Lafran dikenal sering memberontak. Terlibat demonstrasi hingga berujung keributan. Baca Juga Sejarah Lahirnya HMI Kegelisahan Pemuda Islam hingga Gejolak Politik 4. Titik balik spiritual Lafran PaneLafran Pane Pahlawan Nasional Dok. IDN TimesLafran kembali ke Padangsidimpuan pada 1942. Perjalanan spiritulinya dimulai. Namun di sana, Lafran malah dituduh memberontak terhadap Jepang. Dia kembali ke Jakarta Satria Wibawa 2010 dalam bukunya Lafran Pane Jejak Dan Pemikirannya menyebutkan jika pengembaraan keduanya ke Jakarta, sebagai fase lahirnya kesadaran Lafran akan insan kamil. Saat itu Lafran berusia 21 tahun. Dia tengah mengalami pergejolakan pencarian hakikat hidup. Dia mulai mengalami dahaga akan situ, dia mulai menyadari ingin kembali ke masa kecilnya. Selalu akrab dengan nuansa agama yang kental. Lafran pun mulai merenung. Berbekal pengalaman nyantri dia mulai kembali. Dia sempat bekerja di salah satu kantor statistik di Jakarta. Hingga akhirnya dia melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Islam STI Yogyakarta. Di sana dia bertemu dengan Abdul Kahar Muzakkir, Hussein Yahya, dan H. M Rasyidi yang menjadi dosennya. Dia mulai bergumul dengan Kondisi negara saat itu membuatnya terpikir membentuk HMIPresiden Jokowi menghadiri syukuran Lafran Pane sebagai Pahlawan Nasional Dok. IDN TimesPerjalanan spiritual Lafran menuntunnya semakin kritis. Membaca realitas sosial yang terjadi di sekitarnya saat itu. Dia mengkritisi sistem yang berlaku di perguruan tinggi yang menganut pendidikan barat. Saat itu juga banyak organisasi mahasiswa dan pemuda di bawah pengaruh komunis. Dia juga prihatin dengan kondisi umat akhirnya dia membentuk Himpunan Mahasiswa Islam HMI, 5 Februari 1947. Rapat pembentukan itu juga diikuti, Karnoto Zarkasyi, Dahlan Husein, Maisaroh Hilal cucu pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, Suwali, Yusdi Ghozali; tokoh utama pendiri Pelajar Islam Indonesia PII, Mansyur, Siti Zainah istri Dahlan Husein, Muhammad Anwar, Hasan Basri, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi dan Bidron sangat banyak berperan dalam pergolakan politik di Indonesia. Begitu banyak tokoh yang merupakan alumni HMI mengisi lini-lini pemerintahan. Mulai dari wakil presiden , jajaran menteri kabinet, DPR, MPR, DPD hingga para aktifis yang sampai saat ini masih eksis. Sebut saja nama sejumlah tokoh seperti Akbar Tandjung, Jusuf kalla, Nurcholis Madjid, Mahfud MD, Hamzah Haz, Anies Baswedan, Abraham Samad, Jimly Ashiddiqie, Alm Husni Kamil Manik, Yusril Ihza Mahendra dan masih banyak lainnya. Semuanya lahir dari rahim Kesederhanaan Lafran yang kian dilupakan kader HMIDrs. Lafran Pane dalam kehidupannya selalu mengajarkan kesederhanaan. Dalam HMI pun demikian. Hidupnya hanya diabdikan untuk menjadi pengajar. Bahkan kesederhanaan Lafran sampai melegenda. Lafran boleh miskin harta. Namun dia tidak miskin akan semangat Lafran hampir tidak diikuti oleh kader HMI saat ini. Bahkan membuat orang-orang mulai apatis dengan HMI.“Kalau kita lihat, orientasi kesederhanaan, hampir bisa dikatakan tidak kelihatan di kader HMI. Yang ada justru berlomba-lomba mencapai kekuasaan. Dan pola berpikirnya pun lebih sempit. Lebih kepada kekuatan kelompok,” ujar Dadang Darmawan, Ketua Umum Badan Koordinasi HMI Sumut di era Dadang, apa yang dicontohkan Lafran hampir tidak ada bekasnya. Justru, sejumlah alumni malah mencoreng nama rumah besar HMI.“Kalaupun Lafran meninggalkan jejak keteladanan, membentuk kesederhanaan, nasionalisme, itu sudah hilang saat ini,” Tahun 2017 akhirnya Lafran Pane ditetapkan sebagai Pahlawan NasionalDokumentasi/Kahmi UIN MalangLewat perjuangan panjang, Lafran akhirnya ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 6 November 2017 oleh Presiden Joko 'Jokowi' Widodo. Bersama TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dari Nusa Tenggara Barat NTB, Laksamana Malahayati dari Provinsi Aceh, Sultan Mahmud Riayat Syah dari Kepulauan Riau, dan Lafran Pane dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Penganugerahan itu digelar di Istana Presiden lima hari berikutnya. Baca Juga Jangan Lupakan Sejarah! Ini 12 Sosok Pahlawan Nasional dari Sumut

kata kata lafran pane